Hasil imbang 2-2 yang diterima Tottenham saat bertandang ke kandang Chelsea, Stamford Bridge berhasil memastikan gelar liga pertama dalam sejarah Leicester City.
Tak perlu kita pungkiri lagi, “kisah Cinderella” Morgan dan kawan-kawan dapat masuk dalam salah satu kisah terbaik sepak bola, namun perjalanan barulah dimulai untuk The Foxes -julukan Leicester City-.
Kecaman terhadap penunjukkan Claudio Ranieri yang gagal bersama Yunani, penolakan Presiden Olympique Marseille pada Riyad Mahrez, hingga skandal pemecatan Nigel Pearson seketika dilupakan kala mereka semua secara pelan tapi pasti mengalahkan pesaing-pesaingnya.
Kesuksesan Leicester City menyusul Blackburn Rovers sebagai klub Inggris yang menjuarai Premier League di luar ‘classic big four‘ (Arsenal, Chelsea, Manchester United, Liverpool) terbantu oleh penurunan performa tim lain, seperti juara bertahan Chelsea, dan pecahnya konsetrasi Manchester City setelah pengumuman terkait Pep Guardiola.
Setidaknya, Leicester City lebih baik ketimbang Blackburn Rovers.
Secara tenggat waktu, The Foxes hanya membutuhkan dua musim di Premier League untuk menjuarai liga. Rovers butuh waktu semusim lebih lama dengan kucuran dana besar.
Ya, bukan Chelsea atau Manchester City, tapi Blackburn-lah klub pertama yang berhasil ‘membeli’ gelar liga di tanah Britania.
Perjalanan masih panjang buat Leicester City untuk diakui sebagai klub superior, semua akan tergantung pada target mereka dua sampai empat musim ke depan, dan juga raihan piala serta kekuatan ekonomi tim pada masa-masa tersebut.
Target akan ditentukan oleh pemilik klub, dan itu layak mendapat tempat sendiri untuk membahasnya, namun satu hal paling realistis adalah tetap membumi, dan tak berharap banyak seperti musim ini.
Dalam perjalanan menuju kemampanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan Vichai Srivaddhanaprabha, selaku presiden klub.
Pertama jelas tentang gaji pemain. Portsmouth dan Leeds adalah contoh nyata bagaimana struktur gaji dapat menghalau perkembangan tim.
Portsmouth yang kembali ke divisi tertinggi Inggris pada 2003/04 sebagai juara Coca-Cola Championship awalnya hanya memberikan dana 25.5 juta Poundsterling untuk membayar pemain mereka, namun lima musim di liga termasyur Britania Raya, The Pompey -julukan Portsmouth- masuk ke dalam daftar 10 klub liga dengan gaji tertinggi (6).
Dengan dana 54.7 juta Poundsterling yang dialokasikan untuk gaji 2007/08, Pompey berhasil mengangkat FA Cup di akhir musim. Keberhasilan Pompey tersebut juga masuk sebagai salah satu kejutan di sepak bola Inggris, sama seperti Leicester.
Namun, Milan Mandaric dan Harry Redknapp memasang target terlalu tinggi untuk klub yang sebenarnya hanya mengakhiri musim di papan tengah.
Target itu diimbangi pembelian pemain muda, serta kebijakan nekat, dengan mempertahankan para veteran seperti Sol Campbell, James dan Distin.
Terlebih lagi, Redknapp enggan untuk melepas playmaker kesayangannya Niko Kranjcar sebagai penyeimbang neraca.
Portsmouth akhirnya harus kembali meningkatkan dana gaji pemain ke angka 65.1 juta Poundsterling untuk membiayai kehidupan 28 pemain mereka.
Performa tim menurun berkat kepadapatan jadwal, serta kesalahan prioritas, pada musim berikutnya 2009/10, The Pompey dinyatakan bankrut dan terusir dari Premier League.
Hal serupa juga terjadi pada Leeds pada periode 2000 – 2004. Masalah finansial yang mereka alami lebih menyakitkan ketimbang Porstmouth.
Leeds United merupakan salah satu raksasa Inggris yang sempat menjadi unggulan juara pada 2000/01 dan 2001/02, tapi dua musim berikutnya performa mereka merosot hingga terdegradasi di akhir kompetis 2003/04.
Kedua tim tersebut hingga kini masih terseok-seok di liga masing-masing, dan absen dari tangga tertinggi sepak bola Inggris.
Selain masalah gaji, satu hal lainnya adalah ‘Sindrom City’.
Leeds, Ipswich dan Chelsea masuk dalam daftar juara bertahan terburuk versi Guardian, namun pemenang dalam kategori ini adalah Manchester City.
Saat First Division masih jadi divisi tertinggi sepak bola Inggris (1888 – 2004), Manchester City sempat meraih dua gelar liga (1936/37 & 1967/68), seperti klub-klub lainnya, raihan pertama selalu terasa spesial.
Bagi Manchester City, hal ini spesial untuk alasan yang salah.
Diperkuat Frank Swift, Alec Herd, Peter Doherty, dan Eric Brook, mereka mencetak 107 gol dari 42 pertandingan liga untuk menjadi juara liga.
Piala pertama bisa jadi momentum terbaik Manchester City setelah di musim yang sama Manchester United terdegradasi dari divisi tertinggi Inggris saat itu.
Piala tersebut seharusnya menjadi awal kejayaan Manchester City atas rival mereka, tapi kenyataannya pada musim 1938/39, The Citizen -julukan populer Manchester City-, bertukar posisi dengan Manchester United.
Hal ini menjadikan Manchester City sebagai klub penuh drama di mata media Inggris. Para suporter juga melabeli klub sebagai pemberi harapan palsu (PHP) paling ulung karena tak pernah menunjukkan konsistensi untuk merajai sepak bola Inggris.
Setelah menjalani beberapa musim gemilang, menempatkan diri di delapan hingga lima besar liga, mereka selalu kembali turun ke papan bawah.
Hal ini terus terjadi pertengahan milenium hingga Thaksin Shinawatra menggambarkan masa depan cerah kepada mereka pada 2008.
Kebiasaan Manchester City itu disebut “Typical Syndrome City“, atau Sindrom City dalam Bahasa Indonesia.
The Citizen mungkin menjadi klub paling populer yang mengidap hal ini, tapi nyatanya bukan hanya Manchester, tapi Leicester City juga memiliki penyakit serupa.
Sempat menempati papan tengah divisi tertinggi Inggris di akhir 70 dan 90-an, Leicester kemudian gagal mempertahankan momentumnya hingga harus turun ke liga tingkat tiga selama dua musim (2008 – 2010).
Musim ini mereka sukses menjadi klub Midlands Timur pertama yang menjuarai Premier League, mengalahkan klub legendaris Nottingham Forest dan Derby County, tapi dana alokasi untuk gaji pemain mereka juga terus meningkat setiap tahunnya.
Mulai dari 26.1 saat menjadi juara Championship, ke angka 36.6 di musim 2013/14, hingga kini 48.5 juta Poundsterling.
Andai Leicester lupa akan penyakit mereka, dan mulai berambisi terlalu tinggi, musim depan nama mereka akan kembali masuk dalam catatan sejarah, sebagai juara bertahan pertama yang terdegradasi setelah 79 tahun.
Hati-hati sindrom City, Leicester City!