Hati-Hati Sindrom City!

https://i.guim.co.uk/img/media/4f850704af80da5b8dba09e6e7859b94b2768f84/186_181_2981_1789/master/2981.jpg?w=620&q=55&auto=format&usm=12&fit=max&s=34cfcb4cf8b03d96d12f25468287d171

Hasil imbang 2-2 yang diterima Tottenham saat bertandang ke kandang Chelsea, Stamford Bridge berhasil memastikan gelar liga pertama dalam sejarah Leicester City.

Tak perlu kita pungkiri lagi, “kisah Cinderella” Morgan dan kawan-kawan dapat masuk dalam salah satu kisah terbaik sepak bola, namun perjalanan barulah dimulai untuk The Foxes -julukan Leicester City-.

Kecaman terhadap penunjukkan Claudio Ranieri yang gagal bersama Yunani, penolakan Presiden Olympique Marseille pada Riyad Mahrez, hingga skandal pemecatan Nigel Pearson seketika dilupakan kala mereka semua secara pelan tapi pasti mengalahkan pesaing-pesaingnya.

1417730692
Jack Walker (R) alasan utama Blakburn juara | PHOTO: Ewoodpark.Jimdo

Kesuksesan Leicester City menyusul Blackburn Rovers sebagai klub Inggris yang menjuarai Premier League di luar ‘classic big four‘ (Arsenal, Chelsea, Manchester United, Liverpool) terbantu oleh penurunan performa tim lain, seperti juara bertahan Chelsea, dan pecahnya konsetrasi Manchester City setelah pengumuman terkait Pep Guardiola.

Setidaknya, Leicester City lebih baik ketimbang Blackburn Rovers.

Secara tenggat waktu, The Foxes hanya membutuhkan dua musim di Premier League untuk menjuarai liga. Rovers butuh waktu semusim lebih lama dengan kucuran dana besar.

Ya, bukan Chelsea atau Manchester City, tapi Blackburn-lah klub pertama yang berhasil ‘membeli’ gelar liga di tanah Britania.

3117D12700000578-3444768-image-a-3_1455308530188
Vichai (C) tentukan ambisi | PHOTO: Daily Mail

Perjalanan masih panjang buat Leicester City untuk diakui sebagai klub superior, semua akan tergantung pada target mereka dua sampai empat musim ke depan, dan juga raihan piala serta kekuatan ekonomi tim pada masa-masa tersebut.

Target akan ditentukan oleh pemilik klub, dan itu layak mendapat tempat sendiri untuk membahasnya, namun satu hal paling realistis adalah tetap membumi, dan tak berharap banyak seperti musim ini.

Dalam perjalanan menuju kemampanan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan  Vichai Srivaddhanaprabha, selaku presiden klub.

Younes+Kaboul+Sylvain+Distin+Portsmouth+v+wZcKOcPwjgDl
Campbell, Kranjcar, Distin terlambat dilepas | PHOTO: Zimbio

Pertama jelas tentang gaji pemain. Portsmouth dan Leeds adalah contoh nyata bagaimana struktur gaji dapat menghalau perkembangan tim.

Portsmouth yang kembali ke divisi tertinggi Inggris pada 2003/04 sebagai juara Coca-Cola Championship awalnya hanya memberikan dana 25.5 juta Poundsterling untuk membayar pemain mereka, namun lima musim di liga termasyur Britania Raya, The Pompey -julukan Portsmouth- masuk ke dalam daftar 10 klub liga dengan gaji tertinggi (6).

Dengan dana 54.7 juta Poundsterling yang dialokasikan untuk gaji 2007/08, Pompey berhasil mengangkat FA Cup di akhir musim. Keberhasilan Pompey tersebut juga masuk sebagai salah satu kejutan di sepak bola Inggris, sama seperti Leicester.

Namun, Milan Mandaric dan Harry Redknapp memasang target terlalu tinggi untuk klub yang sebenarnya hanya mengakhiri musim di papan tengah.

Target itu diimbangi pembelian pemain muda, serta kebijakan nekat, dengan mempertahankan para veteran seperti Sol Campbell, James dan Distin.

Terlebih lagi, Redknapp enggan untuk melepas playmaker kesayangannya Niko Kranjcar sebagai penyeimbang neraca.

Portsmouth akhirnya harus kembali meningkatkan dana gaji pemain ke angka 65.1 juta Poundsterling untuk membiayai kehidupan 28 pemain mereka.

Performa tim menurun berkat kepadapatan jadwal, serta kesalahan prioritas, pada musim berikutnya 2009/10, The Pompey dinyatakan bankrut dan terusir dari Premier League.

moneyplayers
Gagal memenuhi harapan | PHOTO: Mighty Leeds

Hal serupa juga terjadi pada Leeds pada periode 2000 – 2004. Masalah finansial yang mereka alami lebih menyakitkan ketimbang Porstmouth.

Leeds United merupakan salah satu raksasa Inggris yang sempat menjadi unggulan juara pada 2000/01 dan 2001/02, tapi dua musim berikutnya performa mereka merosot hingga terdegradasi di akhir kompetis 2003/04.

Kedua tim tersebut hingga kini masih terseok-seok di liga masing-masing, dan absen dari tangga tertinggi sepak bola Inggris.

Selain masalah gaji, satu hal lainnya adalah ‘Sindrom City’.

P Doc 2 (2)
Doherty bawa Manchester City ke titel juara | PHOTO: MCFC

Leeds, Ipswich dan Chelsea masuk dalam daftar juara bertahan terburuk versi Guardian, namun pemenang dalam kategori ini adalah Manchester City.

Saat First Division masih jadi divisi tertinggi sepak bola Inggris (1888 – 2004), Manchester City sempat meraih dua gelar liga (1936/37 & 1967/68), seperti klub-klub lainnya, raihan pertama selalu terasa spesial.

Bagi Manchester City, hal ini spesial untuk alasan yang salah.

Diperkuat Frank Swift, Alec Herd, Peter Doherty, dan Eric Brook, mereka mencetak 107 gol dari 42 pertandingan liga untuk menjadi juara liga.

Piala pertama bisa jadi momentum terbaik Manchester City setelah di musim yang sama Manchester United terdegradasi dari divisi tertinggi Inggris saat itu.

Piala tersebut seharusnya menjadi awal kejayaan Manchester City atas rival mereka, tapi kenyataannya pada musim 1938/39, The Citizen -julukan populer Manchester City-, bertukar posisi dengan Manchester United.

Hal ini menjadikan Manchester City sebagai klub penuh drama di mata media Inggris. Para suporter juga melabeli klub sebagai pemberi harapan palsu (PHP) paling ulung karena tak pernah menunjukkan konsistensi untuk merajai sepak bola Inggris.

Thaksin+Shinawatra+Khaldoon+Al+Mubarak+Manchester+M7Qo062XZlnl
Kunci stabilitas Manchester City | PHOTO: Zimbio

Setelah menjalani beberapa musim gemilang, menempatkan diri di delapan hingga lima besar liga, mereka selalu kembali turun ke papan bawah.

Hal ini terus terjadi pertengahan milenium hingga Thaksin Shinawatra menggambarkan masa depan cerah kepada mereka pada 2008.

Kebiasaan Manchester City itu disebut “Typical Syndrome City“, atau Sindrom City dalam Bahasa Indonesia.

The Citizen mungkin menjadi klub paling populer yang mengidap hal ini, tapi nyatanya bukan hanya Manchester, tapi Leicester City juga memiliki penyakit serupa.

Sempat menempati papan tengah divisi tertinggi Inggris di akhir 70 dan 90-an, Leicester kemudian gagal mempertahankan momentumnya hingga harus turun ke liga tingkat tiga selama dua musim (2008 – 2010).

2DBBF0F000000578-3287654-image-a-89_1445700996549
Vardy + Schlupp = 180 ribu Pounds / pekan | PHOTO: Daily Mail

Musim ini mereka sukses menjadi klub Midlands Timur pertama yang menjuarai Premier League, mengalahkan klub legendaris Nottingham Forest dan Derby County, tapi dana alokasi untuk gaji pemain mereka juga terus meningkat setiap tahunnya.

Mulai dari 26.1 saat menjadi juara Championship, ke angka 36.6 di musim 2013/14, hingga kini 48.5 juta Poundsterling.

Andai Leicester lupa akan penyakit mereka, dan mulai berambisi terlalu tinggi, musim depan nama mereka akan kembali masuk dalam catatan sejarah, sebagai juara bertahan pertama yang terdegradasi setelah 79 tahun.

Hati-hati sindrom City, Leicester City!

Ceritakan dengan Benar!

https://media.guim.co.uk/5b01e58dd449931180e3ed1ba6e585c42e1ce37e/0_312_6000_3602/master/6000.jpg

Entah ingin kesal atau pasrah, yang pasti nafas terhela ketika membaca kolom berita di Media Indonesia (18/4) yang mengatakan bahwa Louis Tomlinson akan memerankan Jamie Vardy di film biografi pemain Leicester City tersebut.

Koran Media Indonesia menyadur berita tersebut dari Mirror, fokus mereka bukan Vardy atau Tomlinson, melainkan Ranieri. Pelatih asal Italia tersebut merasa bangga ketika mengetahui Robert De Niro sedang diplot untuk jadi dirinya di film biografi tersebut.

“Mengapa tidak ? De Niro aktor hebat”, katanya.

Sejauh ini laporan yang beredar, Louis Tomlinson sebagai tokoh utama, Robert De Niro memerankan Claudio Ranieri,dan Vinnie Jones mengambil peran Nigel Pearson. Menarik di atas kertas, berpotensi jadi bencana.

Robert De Niro membutuhkan diet cukup ketat untuk memerankan Claudio Ranieri, Vinnie Jones cukup masuk akal menjadi Pearson, sama-sama bermuka keras dan memiliki tinggi 185 centimeter, tapi Louis Tomlison sebagai Jamie Vardy…? *sigh*

Louis-Tomlinson
Saat Gabby diancam mati | PHOTO: Mirror

Demi kepentingan marketing global, Louis Tomlinson mungkin dapat menarik massa berkat ketenarannya di atas panggung.

Mungkin para directioners, atau fans One Direction akan menyaksikan film biografi Jamie Vardy berkat penunjukkan ini, tapi bagaimana dengan para penikmat sepak bola ?

Kita belum tahu bagaimana ia akan memerankan Vardy, bahkan laporan Mirror sampai saat ini masih berstatus rumor, tapi Tomlinson nyatanya punya sejarah buruk di dunia sepak bola.

Tomlinson merupakan suporter Doncaster Rovers yang sempat dikontrak oleh tim kesayangannya untuk kemudian dibuang Paul Dickov ke tim cadangan.

Dia adalah sosok yang cukup familiar.

Ia sering bermain dalam berbagai pertandingan amal, menjadi pemilik saham bersama Doncaster Rovers, dan perancang kostum klub untuk kompetisi musim depan.

Sayangnya, familiar bukan berarti diterima dengan tangan terbuka. Tomlinson dibuang Paul Dickov karena tidak memiliki komitmen kepada tim.

Ia juga dikenal sebagai pemain manja yang membuat Gabby Agbonlahor mendapat surat ancaman dari fans One Direction karena menjatuhkan Tomlinson di pertandingan amal Stiliyan Petrov.

Terakhir, suporter Rovers memprotes keputusan klub yang memenangkan desain Louis Tomlinson dalam kompetisi merancang kostum baru bersama apparel Thailand, FBT.

Sebenarnya ada satu alasan lagi, tekstur wajah Tomlinson yang tidak sesuai dengan Vardy, tapi lupakanlah. Ingat, Robert Downey Jr. dan Tom Cruise di “Tropic Thunder“. Teknologi dan rias wajah bisa membantunya.

goal_lg
Merubah sejarah | PHOTO: Sconefest

Pada intinya, pasti akan banyak yang memprotes jika Tomlinson benar-benar menjadi tokoh utama di film biografi Jamie Vardy.

Akan tetapi, sekali lagi, kita belum tahu kemampuan akting Tomlinson, dan jika terpilih sebagai Vardy, hal itu akan jadi satu-satunya cara untuk membuat sebagian kita rela.

Beban sesungguhnya akan diemban Adrian Butchart, penulis naskah “Goal” dan “Goal II” tersebut kabarnya bukan hanya menuangkan ide, pemikirannya tentang film ini melalui tulisan, tapi juga menjadi produsernya.

Butchart harus menceritakan kisah sepak bola paling fenomenal musim ini dengan begitu detil dan benar karena mungkin perjalanan karir Jamie Vardy sebelum membela Leicester City masih tak begitu diketahui banyak orang.

Ya, kita tahu ia dulu bermain di klub semi-profesional, dan hanya menjadikan sepak bola sebagai pekerjaan sambilan. Kita tahu juga bagaimana ia menjadi pemain non-liga paling mahal di Inggris, dan kini menjadi striker tim nasional, tapi apa cuma itu ?

Kurang dari 30 kata !? Dalam sebuah film kita tidak membutuhkan jawaban dari “apa”, tapi “bagaimana“, dan “kenapa“.

Jangan sampai Butchart membuat dunia alternatifnya sendiri seperti yang ia lakukan di “Goal II”, karena jika hal itu terjadi, sebagus apapun Louis Tomlinson, Zac Efron ataupun Robert Pattinson memerankan Vardy, pasti akan ada kritik yang menjatuhkan.

Sama saja dengan “Batman v Superman: Dawn of Justice“, sebagus apapun Ben Affleck memerankan Batman, Zack Snyder membuatnya tidak memiliki batasan moral dengan memaksimalkan senjata api. Nilai Batman seakan hilang.

Satu-satunya cara untuk Adrian Butcharat mendapatkan pujian adalah setia pada sumber utamanya, Jamie Vardy, dan ceritakan dengan benar!

“The UK countries England and Scotland are the most deadly in Europe”

Kobe Bryant, Hadiah Sepak Bola untuk Basket

https://i.ytimg.com/vi/zE4KBZct81Q/maxresdefault.jpg

Kobe Bryant. Setelah 20 tahun berkarir di atas licinnya lapangan basket, “The Black Mamba” akhirnya memutuskan untuk pensiun dengan menjamu Utah Jazz pagi tadi (14/4).

Pertandingan yang dihadiri oleh mantan rekan satu tim Kobe, para selebritis bahkan David Beckham berakhir dengan skor 101-96 untuk kemenangan LA Lakers. Kobe mencatat 60 poin dalam laga tersebut.

Penutupan sempurna untuk sebuah era, apa hubungannya dengan sepak bola ?

Kobe Bryant adalah seorang maestro di lapangan basket. Ia adalah pahlawan dan sosok yang membuat olahraga itu populer di sebuah generasi.

Generasi yang tidak sempat melihat kejayaan tim impian Chicago Bulls dengan Michael Jordan, Scottie Pippen dan Dennis Rodman.

Kobe menjadi lem permainan basket untuk generasi tersebut karena Iverson pensiun terlalu dini, dengan kata lain, tanpa memiliki hubungan dengan sepak bola, Black Mamba tetap layak mendapatkan sebuah penghargaan khusus.

video-undefined-19D5336600000578-649_636x358
Kobe-Messi adu selfie | PHOTO: Daily Mail

Nyatanya Kobe Bryant memiliki hubungan sangat erat dengan sepak bola. Kobe Bryant pasti pernah kalian lihat di sebuah iklan, duduk bersama Messi.

Ya, dia ada di sebelah seorang pesepakbola yang dapat dikatakan terbaik saat ini. Bersebelahan, sangat dekat!

Namun, jauh sebelum ia bertemu Lionel Messi, Kobe Bryant menghabiskan masa kecilnya di Italia. Basket di Negeri Pizza tidak buruk, tim nasional Italia mengoleksi berbagai medali Olimpiade melalui cabang ini, tapi apa yang lebih diminati publik ? Sepak bola!

Dalam sebuah konfrensi pers, Kobe Bryant bercerita tentang pengalamannya selama di Italia.

Saat itu dirinya ingin berlatih basket, namun di bawah ring, berdiri sebuah gawang yang digunakan anak-anak lain untuk sepak bola.

Kobe tak mungkin memaksakan kehendak, dan menganggu permainan, tapi ia juga terlalu malas jika harus pulang.

Kobe Bryant akhirnya memilih untuk menawarkan diri ikut dalam permainan sepak bola, dan menekuninya selama satu setengah tahun sebelum kembali fokus ke basket.

1452517443-screen-shot-2016-01-11-at-80330-am.png
Durant korban nutmeg Bryant | PHOTO: Note.Taable

Secara terbuka, seorang legenda basket yang disandingkan dengan Michael Jordan, mengakui bahwa dirinya suka dengan sepak bola dan berterimakasih padanya, karena berkat Si Kulit Bundar, Kobe dapat melihat sudut pandang berbeda di atas lapangan.

Setiap kali ditanya tentang hubungan sepak bola dan basket, Kobe selalu menjawab dengan penuh antusias:

“Sepak bola adalah olahraga terbaik untuk melatih kemampuan basket kita!”.

Menurutnya sepak bola melatih komunikasi, kerja sama tim, dan pergerakan kaki, tiga hal penting dalam basket.

Kepada Deadspin Kobe menjelaskan tentang pengaruh bola kaki dalam permainannya. “Sepak bola begitu kompleks.”

“Basket hanya mengajarkan kita untuk melihat permainan dalam dua sisi.”

“Sementara di sepak bola, bisa tiga atau empat bahkan!”

“Bagaimana caranya bergerak dan membaca pola segitiga (penting di basket) dan sebagainya.”, Jelas Kobe.

Januari lalu, saat Lakers bertemu Oklahoma City Thunder, Kobe mengoper bola melalui sela-sela kaki Kevin Durant dan membantu timnya mencetak angka.

Saat ditanya dari mana ide itu muncul, ia hanya menjawab:

“Itu hanyalah sepak bola.”

Teknik yang sering kita sebut sebagai nutmeg di dunia sepak bola, ia terapkan dalam permainan basket. Kobe Bryant memang seorang atlet basket.

Ia menghabiskan 20 tahun untuk membela LA Lakers, tapi dirinya akan seperti sekarang karena visi permainannya yang diasah oleh sepak bola.

Kini Kobe telah gantung sepatu, ia menjuarai National Basketball Association (NBA) sebanyak lima kali, terpilih sebagai All-Star atau perang bintang di 18 pertandingan, dan jadi pemain terbaik (MVP) dalam dua kesempatan.

Sulit melihat LA Lakers tanpa seorang Kobe Bryant, dia atlet basket biasa.

kobe-nash-raptors
Kobe dengan pemilik RCD Mallorca, Steve Nash | PHOTO: Lakerholicz

Pernah berpikir mengapa kenapa Dwayne “The Rock” Johnson mengeluti gulat profesional ketimbang American Football ? Atau Niels dan Herald Bohr fokus ke matematika-fisika dibanding tim nasional Denmark ?

Jawabannya karena mereka adalah ‘nabi’.

Baik Rock dan Bohr bersaudara tidak pernah membenci olahraga yang mereka tekuni sebelumnya.

Tiga sosok itu membuktikan bahwa dalam diri kita terdapat banyak nilai serta talenta yang berhubungan satu sama lainnya. Sama seperti Kobe Bryant.

Ia bukan seorang musisi yang mendapat simpati dan kembali populer di telinga generasi baru setelah dirinya meninggal dunia.

Kobe Bryant adalah ‘nabi’ yang diutus sepak bola untuk mewartakan ajaran-ajarannya, terutama kepada mereka yang tidak, dan belum percaya.

Thank You Kobe!